Taubatnya Syaikh Said bin Musfir

Dalam kesempatan dialog terbuka dengan Syaikh Said hafidzahullah, sebagian audien memintanya untuk bercerita perihal asal mulanya mendapatkan hidayah. Iapun mulai menuturkan kisahnya seraya berkata,

لِكُلِّ هِدَايَةٍ بِدَايَةٌ

“Setiap hidayah pasti ada asal mulanya.”

Secara fitrah aku beriman kepada Allah. Ketika masih kecil, aku selalu menekuni ibadah. Tetapi setelah aku dewasa aku mulai kendur dan menyepelekannya, khususnya shalat. Aku hanya ingat shalat ketika ta’ziyah atau setelah mengantarkan jenazah ke kuburnya, atau setelah mendengarkan ceramah dan ta’lim di masjid. Setelah itu imanku bertambah, sehingga aku mulai shalat dibarengi dengan amalan-amalan sunnahnya, tetapi setelah sepekan dua pekan aku mulai tinggalkan yang sunnahnya. Lalu sepekan dua pekan berikutnya aku meninggalkan yang wajibnya, sampai menunggu lagi momen berikutnya. Setelah aku sampai usia dewasa dan akil baligh akau semakin jauh dari shalat. Tetapi setelah aku menikah aku terkadang shalat, terkadang meninggalkannya. Meskipun demikian aku tetap beriman kepada Allah.

Pada satu kesempatan ketika aku bersama Al-Akh fillah Syaikh Sulaiman bin Muhammad bin Fayi’ –semoga Allah memberkahinya-, ketika aku mamakai pakaian olahraga, aku bertemu dengannya di depan pintu maktab ta’lim, setelah aku mengucapkan salam kepadanya akupun segera pamit kepadanya.

“Mau ke mana?” tanyanya kepadaku. Waktu itu bulan Ramadhan. Aku katakan kepadanya bahwa aku hendak pulang, seperti biasanya aku pulang untuk tidur hingga Magrib. Aku sering bolong shalat Ashar, kecuali jika aku terbangun sebelum magrib, padahal saat itu aku sedang puasa. “Sebentar lagi datang waktu Ashar, bagaimana kalu kita jalan-jalan sejenak?” Aku menyetujuinya dan kamipun berjalan ke arah bendungan danau Abha. Di sana tempatnya sejuk penuh dengan rindang pepohonan dan semilir angin. Kami duduk-duduk di sana hingga tiba waktu Asar, lalu kami berwudhu dan shalat Asar.

Dalam perjalanan pulang tanganku digandenganya. Lalu ia menyampaikan kepadaku sebuah hadits yang cukup masyhur dan aku pernah mendengarnya. Tetapai ketika itu aku seperti belum mendengarnya. Ketika aku mendengar hadits tersebut hatiku mulai terbuka seakan-akan aku baru mendengarnya pertama kali. Hadits tersebut dibawakan oleh Al-Barra bin Azib ra. diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam Musnad-nya dan Abu Daud dalam Sunan-nya, Al-Barra’ berkata,

خَرَجْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي جِنَازَةِ رَجُلٍ مِنَ الْأَنْصَارِ فَانْتَهَيْنَا إِلَى الْقَبْرِ وَلَمَّا يُلْحَدْ فَجَلَسَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَجَلَسْنَا حَوْلَهُ وَكَأَنَّ عَلَى رُءُوسِنَا الطَّيْرَ وَفِي يَدِهِ عُودٌ يَنْكُتُ فِي الْأَرْضِ فَرَفَعَ رَأْسَهُ فَقَالَ اسْتَعِيذُوا بِاللَّهِ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا ثُمَّ قَالَ إِنَّ الْعَبْدَ الْمُؤْمِنَ إِذَا كَانَ فِي انْقِطَاعٍ مِنْ الدُّنْيَا وَإِقْبَالٍ مِنْ الْآخِرَةِ نَزَلَ إِلَيْهِ مَلَائِكَةٌ مِنْ السَّمَاءِ بِيضُ الْوُجُوهِ كَأَنَّ وُجُوهَهُمْ الشَّمْسُ

“Kami keluar bersama Nabi shallallahu alaihi wa sallam (mengantarkan) jenazah seorang laki-laki Anshar hingga kami tiba di kubur. Ketika jenazah itu telah diletakkan di liang lahad, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam duduk dan kami pun duduk di sekeliling beliau. (Kami terdiam sangat tenang) seakan-akan di kepala kami ada burung (yang hinggap). Di tangan Nabi terdapat potongan kayu yang beliau ketuk-ketukkan ke tanah. Nabi mengangkat kepala beliau dan bersabda: ‘Mintalah perlindungan kepada Allah dari adzab kubur.’ Beliau mengucapkan hal itu dua kali atau tiga kali. Kemudian beliau bersabda: ‘Sesungguhnya seorang hamba yang beriman jika menjelang berakhir masa kehidupan di dunia dan hendak menuju akhirat, Malaikat-Malaikat dari langit turun kepadanya. Malaikat-Malaikat itu wajahnya putih (bersinar) bagaikan matahari…..’” (HR. Imam Ahmad,  hadits ini hadits masih ada kelanjutannya)

Aku berkata kepadanya, “Ya Akhi, dari mana kau dapatkan hadits ini?”

“Hadits ini terdapat dalam kitab Riyadus shalihin”, jawabnya singkat.

“Lalu kitab apa lagi yang anda baca?” tanyaku lagi.

“Aku sedang membaca kitab Al-Kabair, Imam Adzdzahaby,” jawabnya.

Setelah berpisah dengannya aku segera bergegas ke toko buku terdekat untuk membeli kedua kitab tersebut. Itulah kitab yang pertama kali aku miliki. Di tengah perjalanan menuju rumah batinku berkata, “Kini aku berada di simpang jalan, di depanku terbentang dua jalan; jalan pertama jalan iman yang mengarah ke surga, jalan yang kedua jalan kufur, nifaq dan maksiat yang mengantarkan ke neraka. Kini aku berada di persimpangannya, jalan manakah yang hendak kupilih?”

Akalku menyuruhku untuk mengikuti jalan yang pertama, sedangkan nafsu jahatku,

اَلنَّفْسُ الأمَّارَةُ بِالسُّوْءِ

“Nafsu yang memerintahkan kepada kejahatan.”

Menyuruhku untuk mengikuti jalan yang kedua sambil berbisik kepadaku, “Engkau masih muda, pintu taubat masih terbuka lebar sampai hari Kiamat. Masih banyak waktu untuk bertaubat di kemudian hari.” Pikiran dan was-was seperti ini selalu terngiang dalam benakku, sementara aku terus melangkah menuju rumah.

Sesampainya di rumah aku berbuka puasa, shalat magrib, shalat isya dan shalat tarawih. Seingatku, itulah shalat tarawih terlengkap rakaatnya yang pernah aku lakukan. Sebelumnya aku tarawih hanya dua rakaat saja, atau bila aku melihat ayahku shalat tarawih juga hanya empat rakaat, setelah itu aku pergi.

Selesai tarawih aku pergi ke rumah Syaikh Sulaiman, aku jumpai beliau baru saja keluar dari masjid. Sesampai di rumahnya ia membacakan untukku kitab Al-Kabair, awal pembahasan kitab tersebut menjelaskan tentang empat dosa besar: Pertama, syirik kepada Allah; kedua, sihir; ketiga, meninggalkan shalat. Dan tidak terasa kajianku bersama Syaikh Sulaiman sampai menjelang waktu sahur.

“Bagaimana sikap kita terhadap materi ini?” tanyaku.

“Semua ini telah termaktub dalam kitab para ulama, kita saja yang lalai,” jawabnya.

“Tetapi orang-orang juga banyak yang lalai dari padanya, karena itu kita harus sampaikan kepada mereka materi ini,” komentarku.

“Kalau begitu siapa yang akan menyampaikan materi ini?” tanyanya padaku.

“Ya antum dong!” sergahku.

“Tidak, antum saja!” desaknya padaku.

Akhirnya akupun menyanggupinya.

Pada hari Jum’at pekan itu juga, selesai shalat jum’at aku sampaikan materi dosa besar meninggalkan shalat di sebuah masjid jami’. Al-hamdu lillah, itulah awal istiqomahku, aku mohon kepada Allah agar aku dan antum sekalian diberikan tsabat dalam agama-Nya. Sesungguhnya Allah maha Mendengar lagi maha Mengabulkan do’a.

Sumber : https://tarbawiyah.com/2021/03/01/taubatnya-syaikh-said-bin-musfir/

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *