Karena Ali menganggap Muawiyah membangkang, ia pun memutuskan mengambil sikap tegas. Ia berangkat ke Syam untuk memerangi gubernurnya itu. Dalam perselisihan ini, kita harus tetap menjaga adab terhadap para sahabat. Dua orang sahabat Nabi berselisih. Mereka berijtihad dengan argumentasi masing-masing. Ali berpendapat bahwa pembunuh Utsman tidak bisa ditangkap dan dieksekusi sesegera mungkin. Alasanya jumlah mereka banyak. Mereka mengepung Madinah. Mengeksekusi mereka saat itu akan membuat kekacauan dan pertumpahan darah yang lebih besar. Ditambah lagi para pelaku belum bisa diketahui dengan detil. Sehingga hukum sulit ditegakkan.
Sedangkan Muawiyah berpendapat dia adalah kerabat Utsman. Seorang kerabat berhak menuntut darah kerabatnya. Karena itu, ia menuntut Ali segera menegakkan hukum untuk para pembunuh. Muawiyah juga bukan tidak mau berbaiat. Bukan pula membangkang. Ia hanya menunda sampai tuntutannya dipenuhi.
Saat Ali tengah menyiapkan pasukan menuju Syam, ia dapati ada kelompok lainnya. Kelompok yang di dalamnya terdapat Aisyah, az-Zubair, dan Thalhah. Mereka keluar menuju Bashrah. Para sahabat ini memandang Ali keliru karena tidak bersegera menegakkan hukum. Dan mereka berpandangan, mereka memiliki kekuatan untuk melakukan apa yang tidak mampu dilakukan Ali. Karena itulah mereka memutuskan berangkat ke Bashrah untuk mengqishash para pembunuh Utsman radhiallahu ‘anhu. Kelompok ini memandang sikap mereka akan mewujudkan islah di tengah kaum muslimin. Sementara sikap kita adalah menahan diri, tidak berkomentar buruk terhadap para sahabat. Mengingat kedudukan mereka di sisi Allah dan Rasul-Nya. Peristiwa ini terjadi pada bulan Jamadil Akhir tahun 36 H.
Ali terkejut dengan pergerakan kelompok Aisyah. Ia pun mengubah rencana. Yang semula berencana menuju Syam, berubah menuju Bashrah. Tujuannya untuk menghentikan pasukan Aisyah, az-Zubair, dan Thalhah. Kemudian meminta mereka kembali ke Madinah. Bukan untuk memerangi mereka. Al-Hasan bin Ali radhiallahu ‘anhuma menasihati sang ayah untuk tidak memobilisasi pasukan menuju mereka. Karena hal itu bisa dimaknai perang. Namun Ali tetap pada pendapatnya. Ia berangkat menuju pasukan yang menuju Bashrah ini. Tempat dimana para pembunuh Utsman berkumpul.
Saat gubernur Bashrah mendengar kedatangan Pasukan Jamal, ia keluar menemui Ali. Saat tiba di Dzi Qar, Ali mengutus al-Qa’qa’ menemui para sahabat yang sudah sampai di Bashrah. Ali berkata, “Temuilah Zubair dan Thalhah. Ajak mereka bersatu. Dan jelaskan buruknya perpecahan pada keduanya.” Ali menguji utusannya ini dengan mengatakan, “Apa yang akan kau perbuat saat menemui keduanya, padahal engkau tidak memiliki wasiat dariku”? al-Qa’qa’ menjawab, “Aku temui mereka dengan apa yang kau perintahkan. Apabila mereka menanggapi dengan sesuatu yang di luar rencana kita. Saya akan berijtihad. Saya akan bicara pada mereka. Mendengar pendapat mereka. Dan berpendapat sesuai kondisi yang selayaknya.” Ali berkata, “Bagus.” Al-Qa’qa’ pun berangkat memasuki Bashrah. Ia mulai dengan menemui Aisyah. Ia mengucapkan salam pada ibu dari orang-orang yang beriman itu. Kemudian mengatakan, “Ibu, apa yang mendorongmu datang ke tempat ini”?
Aisyah radhiallahu ‘anha menjawab, “Anakku, aku menginginkan perdamaian terwujud di tengah khalayak.”
Al-Qa’qa’ berkata, “Utuslah orang kepada Thalhah dan Zubair agar Anda bisa mendengar ucapanku dan ucapan keduanya.” Lalu Aisyah mengirim seseorang untuk mengundang Thalhah dan Zubair berkumpul. Keduanya pun datang. Al-Qa’qa’ berkata, “Aku telah bertanya kepada Ummul Mukminin tentang alasan kedatangannya ke sini. Beliau menjawab, ‘Ingin mewujudkan perdamaian di tengah khalayak’. Lalu bagaiman dengan kalian berdua? Apakah kalian berdua sependapat dengan Ummul Mukminin”? Thalhah dan Zubair menjawab, “Kami sependapat.” (Ibnul Atsir: al-Kamil fi at-Tarikh, 2/40).
Aisyah berkata, “Lalu bagaimana dengan engkau, Qa’qa’”?
Al-Qa’qa’ berkata, “Solusi dari permasalahan ini adalah ketenangan. Kalau tenang, kekisruhan ini akan hilang. Kalau Anda sekalian membaiat Ali, maka itu tanda kebaikan dan rahmat. Dan tuntutan terhadap darah Utsman dapat dilakukan. Terjadilah kebaikan dan kedamaian di tengah umat. Tapi kalau Anda sekalian menolak dan mengedepankan ego, sangat disayangkan, ini tanda keburukan dan kerugian. Kedepankanlah kebaikan dan berusahalah mewujudkannya. Jadilah kunci-kunci kebaikan sebagaimana dulu. Jangan kalian hadapkan kami pada bala’. Niscaya bala’ itu bersegera menerpa kalian pula. Aku ucapkan perkataanku ini dan aku ajak kalian dengan nama Allah. Aku benar-benar khawatir urusan ini tidak selesai hingga Allah mencabut kebaikan pada umat ini dan menyusahkan mereka. Terjadilah apa yang terjadi. Sungguh pembunuhan Utsman ini permasalahan yang sangat besar. Bukan seperti seseorang membunuh seorang lainnya. Bukan pula seperti satu kabilah membunuh seseorang.”
Mereka menjawab, “Engkau benar. Kembalilah. Kalau Ali sependapat dengan apa yang kau sampaikan, maka masalah ini akan menemui solusinya.”
Al-Qa’qa’ kembali menemui Ali. Ali pun takjub dengan apa yang ia sampaikan. Para sahabat sepakat bersatu. Orang-orang yang menginginkan perdamaian bergembira. Namun mereka yang ingin perpecahan terus terjadi (para pembunuh Utsman), merasa terancam dengan persatuan ini. Sebelum al-Qa’qa’ kembali, pasukan Arab yang berada Bashrah ini pergi menemui Ali di Dzi Qar. Mereka ingin tahu bagaimana pendapat saudara-saudara mereka (kelompok Ali) di Kufah. Apa yang memotivasi mereka ingin menghadang pasukan Bashrah. Dan pasukan Bashrah juga ingin menyampaikan kepada pasukan Kufah, kalau sebenarnya mereka menginginkan terwujudnya perdamaian. Tidak terbetik di pikiran mereka untuk mengusik dan memerangi mereka.” (Ibnul Atsir: al-Kamil fi at-Tarikh, 2/40-41).
Saat itu, Ali pun tiba. Ia mengutus Hakim bin Salamah dan Malik bin Hubaib untuk menyampaikan pada Pasukan Jamal (pasukan Bashrah kelompok Aisyah, Thalhah, dan Zubair), “Kalau kalian masih dalam kondisi saat bertemu dengan al-Qa’qa’, tetaplah dalam kondisi tersebut. Lalu kita lihat apa yang akan terjadi.” Hakim dan Malik kembali menghadap Ali dan membawa kabar bahwa orang-orang Bashrah masih dalam kondisi saat al-Qa’qa’ bersama mereka (Ibnul Atsir: al-Kamil fi at-Tarikh, 2/43).
Ali mengirim utusan kepada tokoh di pihaknya dan tokoh di pihak Thalhah dan Zubair. Ia mengabarkan untuk bertemu dan bersatu. Mereka pun melewati malam dalam kondisi ketenangan dan kedamaian yang tidak mereka rasakan di malam-malam sebelumnya. Kaum muslimin merasakan kegembiraan dengan terwujudnya perdamaian ini. Namun para pemberontak dan pembuat fitnah tidak tinggal diam. Mereka mengkhawatirkan keselamatan mereka kalau sampai perdamaian benar-benar terwujud. Mereka melewati malam yang buruk.
Para ahlul fitnah berkumpul. Hadir dalam pertemuan makar itu Ulba bin al-Haitsam, Adi bin Hatim, Salim bin Tsa’labah, Syuraih bin Aufa, al-Aystar, dan sejumlah orang lainnya yang terlibat dalam pembuhan Utsman. Perkumpulan ini dihadiri juga simpatisan mereka. Kemudian orang-orang dari Mesir. Seperti Abdullah bin Saba’ dan Khalid bin Muljim. Mereka berdiskusi. Mereka berkata, “Apa rencana kita? Lihatlah Ali. Demi Allah, di antara orang yang menuntut darah Utsman, dia adalah seorang yang paling paham tentang Alquran. Dan orang yang paling mengamalkannya. Dan kita telah mendengar apa yang dia putuskan. Tidak akan bergabung bersamanya selain mereka. Dan sedikit sekali dari golongan mereka. Bagaimana jika mereka semua bersatu? Lalu mereka yang jumlahnya menjadi besar itu bersepakat untuk menumpas kita? Demi Allah, kita semua orang yang diincar dan kita semua akan mati!”
Para pemberontak ini sangat khawatir kalau Ali dan pasukannya bersatu dengan Pasukan Jamal. Mereka pasti segera memerangi, menangkap, dan menerapkan hukum qishash pada pemberontak ini. Abdullah bin Saba’ berkata, “Teman-teman, mari kita berpencar, menelusup, dan membaur bersama mereka semua. Kalau mereka berkumpul besok, kita kobarkan peperangan. Buat mereka kaget dan panik. Masing-masing dari kalian yang bersamanya, tahan diri. Allah pun akan membuat Ali, Thalhah, Zubair, dan orang-orang yang sependapat (untuk berastu) menyaksikan apa yang tidak mereka inginkan.” Para ahlul fitnah ini pun sepakat dengan pendapat Abdullah bin Saba’. Mereka berpisah dan mulai menyusup ke berbagai kelompok tanpa disadari (Ibnul Atsir: al-Kamil fi at-Tarikh, 2/42).
Ibnul Atsir berkata, “Mereka mulai bergerak di saat gelap pagi. Orang-orang pun tak menyadari pergerakan mereka. Mereka menyusup dalam jumlah bertahap di waktu yang gelap. Pemberontak dari kalangan Bani Mudhar, masuk ke Bani Mudhar. Yang dari Bani Rabi’ah, masuk ke Bani Rabi’ah. Yang dari Yaman, bergabung dengan penduduk Yaman. Mereka bawakan senjata untuk setiap kelompok. Lalu mereka profokasi orang-orang Bashrah (Pasukan Jamal). Dan memprfokasi semua kelompok yang mereka susupi (Ibnul Atsir: al-Kamil fi at-Tarikh, 2/45).
Melihat kondisi tersebut, Ali radhiallahu ‘anhu menyangka kalau Pasukan Jamal telah mengkhianatinya. Sebagaimana juga Pasukan Jamal menyangka Ali telah berkhianat. Berkecamuklah pertempuran. Ali berusaha segera menghentikan peperangan agar tak banyak jatuh korban. Karena itu, saat melihat Pasukan Jamal, berusaha keras melindungi onta yang ditunggangi Aisyah radhiallahu ‘anha. Ia perintahkan pasukannya untuk melukai onta itu. Agar runtuh moral pasukannya dan peperangan pun segera berakhir.
Peristiwa ini menunjukkan benarnya pendapat Ali. Dan saat kecamuk perang terjadi az-Zubair sadar bahwa tujuan yang ingin ia wujudkan tidak terwujud. Ia pun meninggalkan pertempuran dan kembali ke Madinah. Seorang anggota pasukannya yang bernama Amr bin Jurmuz mendapatinya. Lalu ia bunuh az-Zubair saat sedang melaksanakan shalat. demikian juga Thalhah terbunuh dalam rangkaian peristiwa ini.
Usai perang, Ali tetap memuliakan Ibunda Aisyah radhiallahu ‘anha. Ali mengutus saudaranya, Muhammad bin Abu Bakr untuk menemaninya pulang ke Madinah. Mereka berangkat bersama empat puluh orang wanita dari kelompok Bashrah. Kemudian semuanya berangkat ke Mekah untuk berhaji. Setelah itu baru ke Madinah (ath-Thabari: Tarikh ar-Rusul wa al-Mulk, 5/281).
Dari sini juga kita mengetahui benarnya pendapat al-Hasan bin Ali yang melarang ayahnya untuk berangkat menghadang Pasukan Jamal. Dan sejarah ini kemudian dilebih-lebihkan oleh para orientalis. Demikian juga orang-orang yang di hatinya memiliki kebencinta terhadap salah seorang dari sahabat yang ikut dalam Perang Jamal. Mereka melebih-lebihkan jumlah korbannya. Mengada-ada ucapan. Sehingga terlihat para sahabat itu saling benci dan haus kekuasaan. Padahal mereka semua ingin bersatu menuntut keadilan. Mereka tidak ingin berperang. Mereka hanya ingin menangkap pembunuh Utsman. Namun mereka berbeda pendapat dalam menetapkan caranya. Kondisi ini dimanfaatkan oleh para pemberontak. Mereka memprofokasi. Mereka masuk di barisan semua pihak. Kemudian memprofokasi. Sehingga masing-masing pihak menyangka pihak yang lain mengangkat senjata untuk membatalkan perdamaian.
Perang ini berlangsung kurang lebih selama empat jam. Dan korban yang jatuh dari semua pihak tidak lebih dari 100 orang. Setelah Perang Jamal ini, Ali radhiallahu ‘anhu menetapkan ibu kota negara berpindah. Dari Madinah menjadi Kufah.