Kisah Sahabat Nabi yang Diboikot Penduduk Madinah

Tak ada kenikmatan yang lebih besar sesudah berislam bagi Ka’ab, kecuali kejujuran kepada Rasulullah SAW.

Perang Tabuk. Inilah perang terakhir yang dipimpin Rasulullah SAW. Pertempuran melawan pasukan Romawi itu terjadi pada Rajab tahun 9 Hijriyah, tepat pada musim panas.

Perang yang terjadi di utara Hijaz berjarak 778 KM dari Madinah itu disebut juga Perang Al-Usrah (perang yang dipenuhi berbagai kesulitan) karena terjadi pada masa paceklik.

Meski sedang dilanda paceklik, semangat para sahabat untuk menginfakkan hartanya di jalan Allah tak pernah padam. Dr Akram Dhiya Al-Umuri dalam Shahih Sirah Nabawiyah menyebut, Utsman bin Affan menyumbangkan hartanya sebanyak 1.000 dinar untuk keperluan Perang Tabuk. Para sahabat pun bahu-membahu mempersiapkan berbagai bekal untuk pertempuran itu.

Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama dan sejarawan terkait jumlah pasukan tentara Islam yang ikut dalam Perang Tabuk. Namun, kebanyakan sepakat jumlah pasukan tak kurang dari 30 ribu personel. Menurut Dr Akram, ada tiga sahabat yang tak ikut dalam perang itu. Ketiganya adalah Ka’ab bin Malik, Murarah bin Ar-Rabi, dan Hilal bin Umayyah Al-Waqif. Ketiga orang itu dikenal sebagai sahabat Nabi SAW yang baik keimanannya.

Ka’ab bin Malik, yang akan dibahas dalam kisah ini, adalah sahabat yang mengikuti hampir semua pertempuran bersama Rasulullah SAW, kecuali di Perang Badar. “Ka’ab juga mengikuti Bai’atul Aqabah kedua,” ujar Dr Akram. Lalu mengapa Ka’ab tak ikut membela panji-panji agama Allah SWT di Perang Tabuk?

Ibnu Qudamah Al-Maqdisi dalam Kitab Al-Tawwabin mengupas kisah Ka’ab bin Malik yang tak ikut Perang Tabuk. Menurut Ibnu Qudamah, seperti biasanya Rasulullah SAW paling senang mengadakan perjalanan pada hari Kamis. Ka’ab sebenarnya bertekad untuk ikut serta dalam pasukan yang menuju ke Tabuk. Kamis pagi, saat pasukan Islam akan berangkat, Ka’ab pergi ke Pasar.

Ia berangkat ke pasar untuk membeli perlengkapan yang akan digunakan untuk Perang Tabuk. Ka’ab berpikir, setelah barang yang dibutuhkannya terbeli, ia akan segera menyusul rombongan pasukan Islam. Sayangnya, hari itu barang yang dibutuhkannya tak ditemukannya di pasar. Ka’ab pun menunggu esok hari, dengan harapan barang yang dibutuhkannya tersedia di pasar.

Namun, barang-barang yang dicarinya tak kunjung ada. Hari ketiga, keempat, dan selanjutnya, pedagang yang menjual perlengkapan yang dibutuhkannya tak kunjung ada. “Sampai akhirnya Ka’ab tak bisa lagi menyusul pasukan yang dipimpin Rasulullah SAW,” ungkap Ibnu Qudamah.

Dr Akram menyebut, Ka’ab menunda-nunda dalam mempersiapkan keperluan perang. Ka’ab sebenarnya tak ada niat untuk menghindar dari Perang Tabuk. Betapa gelisahnya Ka’ab saat menyadari tak bisa bergabung dengan Rasulullah pada Perang Tabuk. Hatinya begitu sedih. Ia sungguh menyesal karena telah lalai mempersiapkan perlengkapan perang.

Rasulullah SAW dan pasukannya akhirnya sampai di Tabuk. Nabi SAW yang tak melihat sosok Ka’ab segera bertanya, “Apa yang dikerjakan Ka’ab bin Malik?” Salah seorang menjawab, “Baju dan selendangnya yang membuat dia tertinggal, ya Rasul.” Menurut Ibnu Qudamah, pernyataan itu adalah sindiran bagi lelaki yang kalah dari kemauan istrinya.

Mendengar celetukan itu, Muad bin Jabal segera menyela, “Hus…  sangat buruk apa yang kamu katakan. Demi Allah hai Nabi, kami tak melihat darinya kecuali kebaikan.”

Hingga Perang Tabuk berakhir, Ka’ab tak kunjung datang. Di Madinah, Ka’ab terus diliputi kesedihan. Ia sangat menyesal dan takut akan dimarahi Rasulullah SAW. Ka’ab pun pasrah. Satu hal yang diyakininya, yakni kejujuranlah yang akan menyelamatkannya.

Pasukan Rasulullah SAW pun akhirnya tiba di Madinah. Rasulullah segera memasuki masjid dan menunaikan shalat. Setiap pulang dari perjalanan jauh, Rasulullah SAW duduk di masjid dan para sahabat yang tak ikut berperang menemui Rasulullah untuk menyampaikan alasan mereka. Rasulullah pun memaafkan para sahabat yang uzur dan tak bisa bergabung dalam pasukan Islam.

Kini, tibalah Ka’ab bin Malik menghadap Rasulullah SAW. Namun, kali ini Nabi SAW tersenyum sinis kepada Ka’ab. “Bukankah kamu sudah membeli kuda?” tanya Rasulullah.

“Benar, ya Rasul,” jawab Ka’ab tertunduk. Rasul kembali bertanya, “Lalu, apa yang membuatmu tak ikut?”

“Demi Allah, sekiranya di sini tak ada orang lain selain engkau, pasti kami akan lari. Kami diberikan kesempatan untuk membela diri, tapi kami tahu, ya Nabiyullah, orang tak akan percaya. Mudah-mudahan Allah memberi tahu apa yang sebenarnya terjadi pada kami,” ujar Ka’ab. Rasul lalu berkata, “Kalau itu sungguh benar kata-katamu, pergilah sampai ada keputusan dari Allah.”

Ka’ab pun pergi dengan hati yang sangat sedih. Rasulullah SAW melarang semua sahabat untuk berbicara dengan Ka’ab. Tak ada satu orang pun yang menyapa Ka’ab, seakan-akan tembok dan bumi pun ikut membencinya.

Godaan pun datang menghampiri. Seorang Nasrani mencari-carinya di pasar. Para sahabat tak ada yang bicara dan hanya memberi isyarat untuk menunjukkan Ka’ab kepada Nasrani itu.  Orang Nasrani itu tahu Ka’ab tengah mendapat hukuman. Ia lalu menawarkan kepada Ka’ab untuk bergabung dengan kaumnya. Namun, Ka’ab tak tertarik sama sekali dengan tawaran itu.

Hingga hari ke-40, utusan Rasulullah datang. Ka’ab diperintahkan untuk menjauhi istrinya. “Haruskah kuceraikan?” Tanya Ka’ab. Utusan Rasulullah itu menjawab, “Tidak, tetapi jangan mendekatinya.”

Ka’ab berupaya keras untuk segera lepas dari sanksi sosial itu. Ia sempat mendatangi Abu Qatadah, anak pamannya, agar menjembataninya dengan Rasulullah SAW. Namun, Abu Qatadah tak mau berbicara kepadanya karena harus mematuhi perintah Rasulullah SAW. Ka’ab pun hanya bisa menangis.

Hari demi hari terasa begitu lama, hingga hari ke-50 tiba. Ka’ab hanya bisa shalat Fajar di balik Ka’bah. Ia benar-benar bertobat. Ka’ab berdoa dan duduk di tempat Allah biasa menurunkan wahyu kepada Rasulullah SAW.

Ia merasa sesak dan bumi terasa sempit. Tiba-tiba ia mendengar suara dari atas bukit, “Bergembiralah wahai Ka’ab bin Malik.” Ia langsung bersujud dan bersyukur. Kemudian datanglah seorang pria berkuda dan memberi kabar gembira.

Ka’ab segera menemui Rasulullah SAW di masjid. Lalu, Rasulullah SAW bersabda, “Bergembiralah, wahai Ka’ab. Telah datang kebaikan satu hari yang tak pernah terjadi sejak kamu dilahirkan ibumu.”

Ka’ab dengan wajah semringah bertanya, “Wahai Rasulullah apakah itu datang dari engkau atau dari Allah SWT?” Rasul pun bersabda, “Datang dari sisi Allah.” Lalu Nabi SAW membacakan surat At-Taubat ayat 117 hingga 119.

Ka’ab pun berikrar di hadapan Rasulullah SAW. “Ya Rasul, sungguh di antara pertobatanku, aku tidak akan berbicara kecuali benar dan jujur, tidak mengeluarkan harta kecuali untuk Allah dan Rasul-Nya.”

Rasul pun berkata, “Pegang sebagian hartamu, jangan dihabiskan, itu lebih baik bagimu.” Lalu Ka’ab kembali berjanji. “Saya akan memegang panah yang kupakai dalam Perang Khaibar.”

Tak ada kenikmatan yang lebih besar sesudah berislam bagi Ka’ab, kecuali kejujuran kepada Rasulullah SAW. Begitulah kesungguhan tobat Ka’ab, hingga Allah dan Rasulullah SAW mengampuni kelalaian seorang Ka’ab. 

Sumber : https://www.republika.co.id/berita/p57dz9313/tobatnya-kaab-bin-malik

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *