Kisah Pencuri Yahudi Masuk Islam dan Khalifah Ali

Pada era Khalifah Ali, pusat kekuasaan Islam dipindahkan dari Madinah ke Kufah (Irak). Adalah suatu kebiasaan Ali, yakni gemar mengetuk pintu rumah-rumah yang dijumpainya dalam perjalanan menuju masjid menjelang subuh.

Suatu kali, Ali melewati kawasan permukiman Yahudi. Kaum ini termasuk kafir dzimmi sehingga memeroleh perlindungan negara.

Tiba-tiba, Ali melihat ada sebuah baju perang dijemur di depan salah satu rumah. Keponakan Rasulullah Muhammad SAW itu pun menghampirinya.

Dia memerhatikan baik-baik keadaan baju perang itu. Sesudah itu, Ali merasa yakin bahwa benda itu miliknya.

Sesudah memimpin shalat subuh berjamaah, Khalifah Ali kembali lagi ke rumah itu. Dia lantas mengetuk pintu. Keluarlah si pemilik rumah.

“Wahai Yahudi, bagaimana keadaanmu?” tanya Ali.

“Baik-baik saja, wahai khalifah,” jawab si Yahudi ini.

Ali kemudian menunjuk pada baju perang yang sedang dijemur. “Aku melihat ada baju perang di depan rumahmu. Apakah itu kepunyaanmu?” selidik Ali.

“Baju itu dijemur di rumahku. Tentu saja baju perang itu punyaku,” terang pria Yahudi itu.

“Tapi aku yakin baju ini milikku,” tegas Ali lagi. Sahabat Nabi SAW itu lantas menunjukkan beberapa ciri yang memang terdapat pada pakaian tersebut.

Orang Yahudi itu toh tetap bertahan pada argumentasinya. Ali kemudian mengajaknya ke pengadilan saat itu juga.

Sampailah keduanya di gedung pengadilan. Ali masuk, diikuti si Yahudi. Dengan mata kepalanya sendiri, orang kafir dzimmi itu melihat tidak ada perlakuan khusus terhadap sang khalifah.

Begitu Ali mengucapkan salam, seisi ruangan menjawabnya. Sesudah itu, tidak terjadi apa-apa.

“Wahai khalifah, silakan mengantre,” kata hakim.

Ali pun menuju ke barisan antrean dari yang paling belakang. Beberapa lama kemudian, dia pun bisa mendaftarkan perkaranya.

Tibalah giliran kasus Ali dan si Yahudi tadi digelar. Di hadapan mereka, sang hakim bertanya, apa pokok persoalannya.

“Saat aku sedang berjalan di depan rumah dia, aku mendapati sebuah baju perang sedang dijemur. Setelah mengamati baik-baik, aku yakin betul baju tersebut adalah kepunyaanku,” terang Ali.

“Bagaimana menurut engkau?” tanya sang hakim kepada si Yahudi.

“Baju itu dijemur di rumahku, wahai Hakim. Aku mengatakan, baju perang itu adalah milikku,” tegasnya.

“Apakah engkau bisa menghadirkan saksi-saksi yang dapat menunjukkan, itulah baju perang engkau?” tanya Hakim kepada Khalifah Ali.

“Yang tahu bahwa baju itu kepunyaanku adalah anak-anakku, Hasan dan Husain, serta istriku,” ujar Ali.

“Wahai Ali, bukankah engkau tahu bahwa menurut hukum agama ini, kesaksian anak atas orang tuanya–atau orang tua atas anaknya–tidak dapat diterima? Yang satu akan cenderung membenarkan yang lainnya. Kini yang tersisa dari para saksi engkau adalah satu orang perempuan, yakni istri engkau. Sementara, hukum agama ini mengharuskan, jika tidak ada dua orang saksi laki-laki, maka boleh (diganti menjadi) satu orang laki-laki dan dua orang perempuan. Adakah mereka itu?” tanya Hakim.

Ali sejenak berpikir dan kemudian berkata, “Tidak ada.”

Dengan demikian, sang hakim mengetok palu. Dia memutuskan, baju perang itu adalah milik si Yahudi. Sidang pun selesai.

Kebetulan, sidang tersebut merupakan yang terakhir di jadwal hari itu. Maka sang hakim pun turun dari kursi kebesarannya, untuk kemudian menyalami Khalifah Ali.

Berjalanlah keduanya meninggalkan ruang sidang, sementara si Yahudi tadi berdiri kebingungan. Dia bingung, sebab belum pernah dalam hidupnya mengalami sistem dan akhlak kepemimpinan yang adil seperti itu.

Yahudi tadi pun berlari menyusul Khalifah Ali dan sang hakim. “Wahai, Tuan-tuan, tunggu sebentar!”

“Ada apa?” tanya Ali keheranan.

“Apakah sudah selesai pengadilan ini?” tanya dia.

“Tentu saja. Baju itu milikmu, meski aku yakin betul baju itu milikku. Tetapi hukum sudah memutuskan, ya sudah,” jelas Ali yang disaksikan sang hakim.

“Sungguh, wahai Khalifah. Baju perang ini adalah milikmu. Aku mencurinya dua hari yang lalu,” terangnya kemudian.

“Mengapa tidak engkau ungkapkan itu di pengadilan?” tanya sang hakim.

Orang Yahudi itu lantas menuturkan, sejak awal dia terus memerhatikan. Hingga akhirnya dia menyadari, betapa mengagumkannya sistem hukum Islam dan kepemimpinan Ali.

Sebagai orang yang lama tinggal di Irak, dia dan kaumnya terbiasa dengan perilaku yang sewenang-wenang dari penguasa dan negara.

Dia menuturkan, seandainya berperkara dengan raja dari kalangan terdahulu–sebelum Islam masuk ke Irak–maka bisa saja baju tadi atau apa pun yang dimilikinya direbut secara paksa oleh penguasa. Sebab, rakyat sudah dibuat tak berkutik, apalagi masyarakat yang dari kalangan tidak seiman dengan raja.

Namun, Ali ternyata tidak begitu. Sebagai khalifah, Ali justru mengajaknya ke pengadilan. Sesampainya di gedung pengadilan, dia menyaksikan sendiri Ali diperlakukan biasa saja, padahal jelas-jelas Ali seorang khalifah. Tetap saja Ali mengantre sebagaimana masyarakat umumnya.

Itu tidak mungkin terjadi pada era sebelum kedatangan Islam. Si Yahudi mengungkapkan, para hakim dan aparat saat itu mesti taat sebagai bawahan raja. Mereka pasti mengistimewakan raja di atas orang-orang biasa.

Si Yahudi itu lebih kaget lagi ketika tadi Hakim menolak kesaksian Ali. Dia baru tahu, dalam hukum Islam, kesaksian diatur sedemikian perinci untuk memastikan keadilan ditegakkan.

Tidak bisa seorang anak menjadi saksi atas orang tuanya. Karena itu, Ali tidak mampu menghadirkan saksi-saksi lain yang diminta, sehingga keterangan sang khalifah pun tertolak.

“Maka saksikanlah oleh Tuan-tuan sekalian, asyhaduan laa ilaaha illa Allah, wa asyhadu anna Muhammad rasuulullah,” kata pria itu. Khalifah Ali dan sang hakim pun bertakbir.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *